Hari ini, Sudan Selatan menggelar referendum untuk menentukan kemerdekaan dari Utara.
VIVAnews - Hari ini, Minggu 9 Januari 2011, kawasan selatan Sudan menggelar referendum menuntut kemerdekaan dari negara Sudan. Menjelang referendum, pecah kekerasan sehingga menewaskan sembilan orang.
Dua kelompok pemberontak bentrok dengan tentara Sudan Selatan pada Sabtu, 8 Januari 2011 kemarin. Bentrok ini diduga merupakan upaya untuk menakut-nakuti pemilih di beberapa kawasan.
Referendum yang diperkirakan akan menghasilkan negara baru sehingga membelah Sudan menjadi dua negara ini diikuti 3,9 juta pemilih terdaftar. Supaya sah, referendum harus diikuti 60 persen pemilih terdaftar.
Sabtu kemarin, Presiden Sudan Selatan Salva Kiir yang bertemu Senator Amerika Serikat John Kerry berpidato di hadapan pemilih. Meski belum resmi menjadi negara sendiri, sejak beberapa tahun lalu, Sudan Selatan memiliki administrasi pemerintahan sendiri yang beroposisi dengan Pemerintahan Sudan yang berpusat di Khartoum.
"Saya mendesak kalian semua membuat putusan secara damai sebagai upaya mengakhiri perjalanan panjang," kata Kiir. "Dari sisi pemerintahan Sudan Selatan, kami menjanjikan atmosfir yang tenang dan keamanan terjamin."
Kerry, salah satu pemantau di referendum ini, menyatakan stabilitas di Sudan Utara juga kritis. Sudan akan kehilangan separuh tanahnya, hampir seperempat populasinya dan kebanyakan penghasil uangnya, minyak, jika Selatan memilih merdeka.
"Ini bukan hanya momen penentuan nasib sendiri dari Selatan, jika mereka melakukannya, tapi ini juga pembaharuan dari bangsa yang ada di Utara. Itu harapan kami, terlepas dari itu terjadi atau tidak, tergantung pada pemimpinnya," kata Kerry.
Sudan Selatan telah bertahun-tahun perang saudara dengan Utara. Beberapa pekan ini terjadi gencatan senjata namun dua kelompok kecil belum rekonsiliasi.
Jika referendum ini berhasil, negara terbesar di Afrika ini akan terbagi dua antara Utara yang didominasi Arab yang Muslim dan Selatan yang didominasi etnis Afrika yang umumnya Kristen dan animis. Juli nanti, Sudan Selatan akan menjadi negara termuda di dunia.
Dua kelompok pemberontak bentrok dengan tentara Sudan Selatan pada Sabtu, 8 Januari 2011 kemarin. Bentrok ini diduga merupakan upaya untuk menakut-nakuti pemilih di beberapa kawasan.
Referendum yang diperkirakan akan menghasilkan negara baru sehingga membelah Sudan menjadi dua negara ini diikuti 3,9 juta pemilih terdaftar. Supaya sah, referendum harus diikuti 60 persen pemilih terdaftar.
Sabtu kemarin, Presiden Sudan Selatan Salva Kiir yang bertemu Senator Amerika Serikat John Kerry berpidato di hadapan pemilih. Meski belum resmi menjadi negara sendiri, sejak beberapa tahun lalu, Sudan Selatan memiliki administrasi pemerintahan sendiri yang beroposisi dengan Pemerintahan Sudan yang berpusat di Khartoum.
"Saya mendesak kalian semua membuat putusan secara damai sebagai upaya mengakhiri perjalanan panjang," kata Kiir. "Dari sisi pemerintahan Sudan Selatan, kami menjanjikan atmosfir yang tenang dan keamanan terjamin."
Kerry, salah satu pemantau di referendum ini, menyatakan stabilitas di Sudan Utara juga kritis. Sudan akan kehilangan separuh tanahnya, hampir seperempat populasinya dan kebanyakan penghasil uangnya, minyak, jika Selatan memilih merdeka.
"Ini bukan hanya momen penentuan nasib sendiri dari Selatan, jika mereka melakukannya, tapi ini juga pembaharuan dari bangsa yang ada di Utara. Itu harapan kami, terlepas dari itu terjadi atau tidak, tergantung pada pemimpinnya," kata Kerry.
Sudan Selatan telah bertahun-tahun perang saudara dengan Utara. Beberapa pekan ini terjadi gencatan senjata namun dua kelompok kecil belum rekonsiliasi.
Jika referendum ini berhasil, negara terbesar di Afrika ini akan terbagi dua antara Utara yang didominasi Arab yang Muslim dan Selatan yang didominasi etnis Afrika yang umumnya Kristen dan animis. Juli nanti, Sudan Selatan akan menjadi negara termuda di dunia.
Amerika Serikat sendiri telah meletakkan referendum di selatan ini sebagai prioritas politik luar negeri mereka. Jika referendum berhasil, Amerika berjanji mengeluarkan Sudan dari daftar negara sponsor teroris. (Sumber: Associated Press | kd)