Harga Pangan Meroket, Negara-negara Bergolak

Tunisia dan Aljazair krisis politik. Libya, Yordania dan Maroko berupaya meredam harga.

Demonstrasi massal menuntut mundur Presiden Tunisia, 14 Januari 2011 (AP Photo)

VIVAnews - Dalam beberapa pekan terakhir, kemarahan massal melanda Tunisia dan Aljazair. Dalam waktu yang bersamaan, rakyat di kedua negara yang saling bertetangga di Afrika Utara itu mengamuk. Mereka menyuarakan ketidakpuasan mereka terhadap pemerintah masing-masing yang mereka nilai tidak becus mengatasi krisis ekonomi, yang membuat harga-harga kebutuhan pokok melonjak dan makin banyak warga yang menganggur.

Di Tunisia, amuk massa itu berujung pada tuntutan agar Presiden Zine El Abidine Ben Ali segera mengundurkan diri. Berkuasa dengan mulus selama 23 tahun, Ben Ali tidak menyangka bahwa kemarahan rakyat kian menjadi-jadi.

Mantan perwira militer itu pada awalnya menganggap sebelah mata atas demonstransi berskala kecil di sejumlah kota, yang dimulai sejak pertengahan Desember 2010. Bahkan Ben Ali menganggap para demonstran adalah teroris.
"Pesan saya jelas, kepada siapapun yang menganggu stabilitas negara akan akan ditindak secara hukum," ujar Ben Ali dalam pidato nasional, 10 Januari 2011, seperti dikutip kantor berita Associated Press.

Selama berkuasa, Ben Ali menerapkan pemerintahan tangan besi dengan membungkam kebebasan berpolitik dan berpendapat. Pada 2002, Ben Ali berhasil membuat parlemen mengesahkan undang-undang yang mengubah usia maksimal presiden, dari 70 tahun menjadi 75 tahun.

Belakangan, dia pun berambisi menjadi presiden seumur hidup dengan kembali mengamandemen konstitusi. Ben Ali tahun ini sudah berusia 74 tahun dan bila ingin mencalonkan diri pada pemilu 2014, berarti dia dianggap melanggar undang-undang dasar hasil amandemen 2002.

Namun, saat harga bahan kebutuhan pokok di Tunisia--seperti roti, susu, dan gula--naik berlipat-lipat, makin banyak pula warga yang marah. Sudah dinilai tidak mampu mengatasi krisis ekonomi, rakyat pun merasa Ben Ali kian semena-mena dan keluarganya tercemar berbagai tuduhan korupsi.

Maka, di tengah himpitan ekonomi, rakyat Tunisia bergerak melawan rezim Ben Ali. Bentrok tak terhindarkan. Korban jiwa pun berjatuhan.  

Menurut lembaga International Federation of Human Rights Leagues (FIDH), lebih dari 60 orang tewas saat rakyat di negara Afrika bagian utara itu memulai aksi protes pada 17 Desember 2010. Mereka yang tewas tidak saja para korban bentrokan dengan pihak keamanan. Tercatat, tujuh orang nekad bunuh diri sebagai protes atas krisis lapangan kerja dan kesulitan ekonomi. 

Situasi di Tunisia ini merupakan ironi, baik bagi Ben Ali sendiri maupun bagi Tunisia. Ben Ali menggantikan Habib Burguiba sebagai presiden pada November 1987 saat Tunisa tengah mengalami krisis ekonomi yang sangat parah.

Ben Ali menerapka sejumlah reformasi sehingga berhasil mengangkat ekonomi Tunisia, dari negara yang hanya memiliki GDP $1.206 pada 1986 menjadi US$3.786 pada 2008. Tunisia bahkan oleh Forum Ekonomi Dunia ditempatkan di peringkat 32 dari 139 negara--tertinggi di Afrika--dalam daftar Global Competitivines Report.

Namun, raihan itu kini seperti tidak ada artinya, ketika harga bahan-bahan kebutuhan pokok melambung dan jumlah penganggur meroket. Padahal, krisis ekonomi Tunisia ini tidak lepas dari naiknya harga-harga komoditas global. 

Melihat demonstrasi makin menjadi-jadi, Ben Ali akhirnya menyerah. Ia berjanji tidak akan lagi memimpin pada 2014 mendatang. "Tidak akan ada jabatan presiden seumur hidup." Dia juga berjanji akan memberi kebebasan berpolitik dan berpendapat. 

"Saya sadar dengan tuntutan rakyat Tunisia. Saya juga sedih dengan apa yang tengah terjadi setelah 50 tahun mengabdi bagi bangsa ini, baik dalam dinas militer, berbagai posisi di pemerintahan, dan menjadi presiden selama 23 tahun," kata Ben Ali, seperti dikutip stasiun televisi Al Jazeera, Kamis malam, 13 Januari 2011 waktu setempat. Ben Ali juga menginstruksikan pasukan keamanan untuk tidak lagi menggunakan senjata api dalam menghadapi para demonstran.

Toh demikian, sikap Ben Ali yang melunak itu tidak bisa lagi diterima rakyat Tunisia. Dalam suatu demonstrasi di depan Kementrian Dalam Negeri, Jumat 14 Januari 2011, demonstran meminta Ben Ali turun secepatnya.

Aljazair mendidih
Negara tetangga Tunisia, Aljazair, juga mendidih. Walau belum sampai menuntut mundur Presiden Abdelaziz Bouteflika, rakyat Aljazair juga marah atas inflasi yang tinggi dan tingkat pengangguran yang melonjak.
Demonstrasi di Aljazair berlangsung sejak Selasa, 4 Januari 2011, di pinggiran Ibukota Aljir. Demonstrasi berkembang menjadi kerusuhan pada Rabu di Oran. Kerusuhan meluas ke distrik Bab El Oued di pusat kota Aljier, dan dalam sekejap menjalar ke 24 kota.

Pemerintah Aljazair Sabtu pekan lalu akhirnya menurunkan pajak dan bea sampai 41 persen untuk produk gula dan makanan pokok lainnya. Penurunan harga ini hanya berlaku hingga akhir Agustus mendatang. Namun, langkah pemerintah ini tetap dinilai tak cukup untuk meredam amarah para pemuda yang mengaku telah lama tak dihiraukan.

“Kami muak diabaikan terus. Kami muak diperlakukan seperti marmut. Kami katakan ini kepada pemerintah: kalian tidak berbuat apa-apa kepada kami, kami tidak mengakui kalian lagi!” seru salah satu pengunjuk rasa, Hamid, seorang pengangguran dari Bab El Oued, seperti dikutip laman berita Magharebia.
Pengangguran terpelajar
Aljazair dan Tunisia adalah dua negara yang memiliki angka pengangguran terpelajar yang tinggi. Namun, pemerintah seperti tutup mata dengan pendapat dari kalangan oposisi dan protes masyarakat. Hal ini tidak jarang menyulut bentrokan di kedua negara ini.

Menurut Dana Moneter Internasional (IMF), angka pengangguran di kedua negara ini masing-masing mencapai hampir 30 persen dari total populasi. Kebanyakan adalah pemuda di bawah umur 25 tahun. Padahal, para pemuda di kedua negara ini berjumlah sangat besar, yaitu hampir 70 persen dari keseluruhan populasi.
Gejolak di Tunisia dan Aljazair mengundang kewaspadaan negara-negara lain. Mereka tidak ingin mengalami masalah serupa. Maka, menurut harian Financial Times; Libya, Yordania dan Maroko tengah keras berupaya agar harga-harga kebutuhan pokok tidak meroket untuk mencegah kemarahan rakyat masing-masing.

Koran Inggris itu mengungkapkan, Libya menghapus pajak dan tarif cukai atas produk lokal dan sejumlah makanan impor seperti gandum, beras, minyak sayur, gula dan susu bayi. Yordania memotong pajak bahan bakar dan sejumlah produk pangan, sedangkan Maroko menerapkan sistem kompensasi bagi importir tepung agar pasokan tetap terjaga di tengah naiknya harga kebutuhan pokok di tingkat global, terutama bahan pangan.
Bagi kalangan pengamat politik, subsidi pangan merupakan andalan bagi pemerintah negara-negara Arab untuk mengendalikan rakyat. "Mereka tidak akan macam-macam bila mendapat akses pangan yang murah," demikian tulis Financial Times. Namun, subsidi itu tampaknya kian berat ditanggung pemerintah di negara-negara tersebut saat harga pangan di tingkat global melejit di luar kendali.
Harga meroket

Harga pangan dunia meroket selama Desember 2010, dengan Indeks Harga Pangan FAO mencapai rekor tertinggi. Kenaikan harga pangan itu melebihi yang terjadi pada 2008, ketika lonjakan harga menyebabkan kerusuhan di sejumlah negara.

Indeks yang menghitung perubahan harga kumpulan bahan pangan seperti sereal, bijih minyak, susu, daging, dan gula rata-rata mencapai 214,7 pada Desember 2010. Sedangkan rekor Juni 2008 hanya di level 213,5.

Indonesia pun mewaspadai perkembangan ini. Menteri Keuangan Agus Martowardojo menyatakan melambungnya harga pangan dunia bisa membahayakan posisi Indonesia. Ini karena sejumlah eksportir pangan menahan untuk tidak menjual stok bahan makanan mereka.

"Bila produsen pangan menahan ekspor, ini bisa membahayakan Indonesia," kata Agus.
Kepala Badan Pusat Statisik, Rusman Heriawan sebelumnya memperingatkan bahwa dua negara eksportir beras terbesar dunia, yakni Vietnam dan Thailand, akan menahan ekspor pangan mereka tahun ini. Mereka akan menjaga stok domestik di tengah lonjakan harga beras dunia.

Menurut Agus, laju inflasi yang tidak terkendali akan terjadi bila harga komoditas di pasar dunia terus melambung. Hal ini sebenarnya sudah terjadi pada tahun lalu. Saat itu laju inflasi jauh melesat di atas target pemerintah. "Kalau inflasi yang meningkat, rakyat langsung kena karena daya belinya hilang," ujar dia.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes